Menangani Konflik di Tempat Kerja

Syahdan, di suatu ruang kerja PT Maju Terus, Dipo seorang karyawan administrasi tergopoh-gopoh menghampiri Amir seorang staf penjualan yang sedang mengetik. “Mir, saya pinjam komputernya! Pak Rudi menunggu laporan pemasaran bulan ini”. ujar Amir, “Maaf Pak Dipo, saya sedang menyelesaikan laporan penjualan saya dulu, siang ini juga selesai.”

Merasa lebih senior, Dipo mencoba sekali lagi, “Ini penting! Kalau tidak selesai sekarang …wah….kamu tahu kan akibatnya?” Amir tidak kalah sengitnya, “Kok Pak Dipo mengancam saya?” Perselisihan keduanya memang acapkali terjadi. Maklumlah, komputer di bagian pemasaran hanya ada satu. Konflik di antara keduanya sering terjadi.

Cerita di atas bisa terjadi di tempat kerja kita, tidak harus mengenai komputer, bisa saja hal lain seperti tempat duduk, pekerjaan, lembur, absensi dan lain sebagainya. Setiap hari kita selalu dihadapi oleh konflik atau hal-hal yang berpotensi menimbulkan konflik. Apa yang harus dilakukan?

Apa itu Konflik?

Robbins (1996) dalam Organizational Behavior menjelaskan bahwa konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh atas pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun negatif. Seperti dalam cerita di atas konflik mulai timbul pada saat Dipo membutuhkan komputer yang sedang digunakan Amir.

Ada tiga kelompok besar yang disebut sebagai sumber konflik di tempat kerja, yaitu konflik karena kesalahpahaman pada saat berkomunikasi (cara bicara, sikap, dan alat komunikasi misalnya), karena perbedaan individu (kepentingan, nilai, pengalaman, dan lain-lain) dan karena pekerjaan (desain kerja, penggunaan fasilitas kerja, pembagian tugas dan sebagainya)

Apakah konflik berbahaya?

Sebagian pihak mengatakan bahwa konflik itu negatif dan merusak organisasi. Kalau saya boleh meminjam salah satu istilah populer di suatu iklan obat, jawabannya “tidak juga”. Mengapa? Konflik sebenarnya bisa memberikan manfaat banyak untuk organisasi. Sebagai contoh pengembangan konflik yang positif dapat digunakan sebagai ajang adu pendapat, sehingga organisasi bisa mendapatkan pendapat-pendapat yang sudah tersaring.

Seorang manajer suatu perusahaan tertentu pernah menerapkan apa yang disebutnya dengan ‘mitra tinju’. Pada saat ada suatu kebijakan yang hendak diterapkan di perusahaannya ia mencoba untuk mencari ‘mitra’ yang beroposisi dengannya. Kadang konflik pun terjadi.

Apakah itu menjadi persoalan bagi dirinya ? “Bagi saya hal itu menjadi hal yang positif, karena saya dapat melihat kebijakan yang dibuat tersebut dari sisi lain. Saya dapat mengidentifikasi kemungkinan kelemahan yang ada dari situ. Selama kita masih bisa mentolerir dan dapat mengendalikan konflik tersebut ke arah yang baik, hal itu tidak menjadi masalah”, ujarnya.

Hal itu sejalan dengan pendapat yang tertulis oleh Robbins (1996), yang membahas konflik dari segi human relations dan interactionist perspective. Dijelaskan bahwa konflik itu adalah hal yang alamiah dan selalu akan terjadi.

Konflik merupakan bagian dari pengalaman hubungan antar pribadi (interpersonal experience). Karena tidak bisa dihindari, maka sebaiknya konflik dikelola dengan efektif, sehingga dapat bermanfaat dan dapat menciptakan perbedaan serta pembaharuan ke arah yang lebih baik dalam organisasi. Kesimpulannya, konflik tidak selalu merugikan organisasi selama bisa ditangani dengan baik.

Penanganan Konflik

Untuk menangani konflik dengan efektif, kita harus mengetahui kemampuan diri sendiri, dan juga pihak-pihak yang mempunyai konflik. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Introspeksi diri. Bagaimana kita biasanya menghadapi konflik ? Gaya apa yang biasanya digunakan ? Apa saja yang menjadi dasar dan persepsi kita. Hal ini penting untuk dilakukan sehingga kita dapat ‘mengukur kekuatan’ kita.

2. Mengevaluasi pihak-pihak yang terlibat. Sangat penting bagi kita untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat. Kita dapat mengidentifikasi kepentingan apa saja yang mereka miliki, bagaimana nilai dan sikap mereka atas konflik tersebut dan apa perasaan mereka atas terjadinya konflik. Kesempatan kita untuk sukses dalam menangani konflik semakin besar jika kita melihat konflik yang terjadi dari semua sudut pandang.

3. Identifikasi sumber konfliknya. Seperti dituliskan di atas konflik tidak muncul begitu saja. Sumber konflik sebaiknya dapat teridentifikasi sehingga sasaran penanganannya lebih terarah kepada sebab konflik. Jika Amir dan Dipo sudah saling mengetahui bahwa konflik yang terjadi di antara mereka adalah mengenai komputer maka pembicaraan keduanya akan lebih terarah dan konstruktif.

4. Mengetahui pilihan penyelesaian atau penanganan konflik yang ada dan memilih yang tepat. Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang bisa kita lakukan dalam menangani konflik.

a. Berkompetisi. Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba ‘memaksakan’ kepentingan sendiri di atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan situasi menang-kalah akan terjadi di sini, pihak yang kalah akan merasakan dirugikan dan dapat menjadi konflik yang berkepanjangan.

Tindakan ini biasa dilakukan dalam hubungan atasan-bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di atas kepentingan bawahan. Dipo bisa saja menekankan kesenioritasannya untuk mendapatkan komputer tersebut dan ‘memaksa’ Amir untuk mengalah.

b. Menghindari konflik. Jika salah satu pihak menghindar dari situasi tersebut secara fisik atau pun psikologis. Sebagai contoh jika Amir menghindari dari konflik, maka ia akan selalu mencoba menghindari Dipo, kalau perlu tidak berbicara dengannya atau keluar dari ruangan mencari komputer lain. Sifat tindakan ini adalah hanya menunda konflik yang terjadi. Situasi menang-kalah terjadi lagi di sini.

Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana, membekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik ‘meletus’ kembali, ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stress karena merasa masih memiliki ‘hutang’ menyelesaikan persoalan tersebut.

c. Akomodasi. Jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapatkan keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga sebagai self-sacrifing behavior. Hal ini dilakukan jika kita merasakan kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut.

Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang utama di sini.Sebagai contoh, karena Amir merasa bahwa laporan yang harus diketik Dipo lebih penting dan juga Dipo adalah karyawan yang lebih senior, maka untuk menjaga hubungan baik, Amir mengambil lembur dan mulai mengerjakan laporan tersebut di sore hari setelah Dipo pulang.

d. Berkompromi. Amir berkompromi dengan Dipo dengan menjadwal kegiatan pengetikan, misalnya satu jam pertama komputer digunakan oleh Dipo, satu jam kemudian oleh Amir , berikutnya oleh Dipo kembali dan seterusnya. Tindakan ini dapat dilakukan jika kedua belah pihak merasa bahwa kedua hal sama-sama penting dan hubungan baik menjadi yang utama. Masing-masing akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk mendapatkan situasi menang-menang.

e. Berkolaborasi. Menciptakan situasi menang-menang dengan saling bekerjasama, misalnya agar kedua laporan tersebut selesai maka dipilihlah Amir untuk mengetik dan Dipo yang membacakannya sehingga laporan tersebut dapat selesai pada waktunya.

Pilihan tindakan ada pada diri kita sendiri dengan konsekuensi dari masing-masing tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kita, kepentingan dan hubungan antar pribadi menjadi hal yang harus kita pertimbangkan.

*Tulisan ini dimuat di Kolom Peluang Karir, Harian Republika pada 21 Agustus 1999.

Riza AryantoRiza Aryanto. Staf Pengajar PPM Manajemen
RAR@ppm-manajemen.ac.id

Leave a comment