Membangun Bisnis yang Berkelanjutan

Bagi sebagian orang, usia merupakan salah satu pertimbangan penting dalam mengambil keputusan untuk berinteraksi lebih dekat dengan perusahaan. Seperti ketika seorang karyawan akan mengambil keputusan berkarir di perusahaan hingga keputusan pembelian dari calon konsumen.

Tak hanya itu, ‘usia tua’ sering dipandang sebagai sebuah bukti kematangan perusahaan dalam mempertahankan operasional usaha di tengah lingkungan yang bertumbuh dengan sangat dinamis. Selain itu, ‘usia tua’ juga identik dengan sebuah pengakuan atau apresiasi khusus dari masyarakat.

Ini berarti bahwa produk-jasa yang ditawarkan perusahaan telah mendapat ‘tempat khusus’ di benak konsumen sehingga wajar jika usia perusahaan digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan manajemen dalam mengelola perusahaan.

Mempertahankan bisnis dalam jangka panjang memang bukan hal yang mudah. Tantangan persaingan dari pendatang baru kerap kali membuat manajemen harus berpikir lebih jernih dalam mempertahankan posisinya sebagai pemimpin pasar.

Demikian pula tuntutan-tuntutan pasar yang dipicu oleh perkembangan teknologi informasi seringkali ‘memaksa’ manajemen untuk melakukan perubahan yang terkadang cukup dramatis.

Dalam konsep manajemen modern, proses membangun sebuah usaha yang tak lekang oleh waktu didasarkan pada dua pilar. Pertama terkait filosofi kehadiran perusahaan di tengah-tengah lingkungan (bisnis dan sosial).

Saya mengajak anda untuk melihat kembali misi-visi perusahaan anda. Kedua hal fundamental tersebut secara eksplisit menyiratkan motif dasar dari para pendiri akan kontribusi perusahaan pada lingkungannya.

Perusahaan yang senantiasa menempatkan peningkatan profit sebagai misi utama seringkali tidak berusia panjang. Sebaliknya, perusahaan yang menempatkan penciptaan nilai lebih pada para stakeholder (anggota perusahaan, pemerintah, pesaing, pasar, konsumen, pemasok, lembaga sosial) sebagai prioritas utama seringkali pada prakteknya memiliki umur panjang.

Fenomena ini memang cukup unik untuk dipelajari. Betapa tidak, seringkali kita memahami bahwa tanpa adanya peningkatan profit maka cukup sulit bagi perusahaan untuk bertahan. Alhasil manajemen akan berupaya dengan berbagai cara agar tujuan tersebut dapat tercapai.

Lebih lanjut, target peningkatan perolehan profit dalam jangka pendek sebenarnya berpotensi membuka celah bagi praktik-praktik meraup keuntungan sesaat. Kita dapat menggunakan beberapa contoh kasus praktik manajemen yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek.

Seorang manajer yang cenderung memilih strategi bisnis dengan orientasi keuntungan jangka pendek seringkali merugikan konsumen. Akibatnya sang konsumen tidak akan melakukan pembelian ulang dan bahkan mengkomunikasikan citra negatif tentang perusahaan pada komunitasnya. Pada kondisi inilah nama perusahaan menjadi taruhannya. Di sisi lain, menempatkan penciptaan nilai lebih pada stakeholder seringkali identik dengan upaya pengurangan potensi keuntungan demi kehidupan perusahaan di masa depan.

Sejumlah kalangan bahkan menilai bahwa keberhasilan konsep ini sangat tergantung dari seberapa efektif manajemen melakukan trade off antara kenikmatan sesaat (baca: keuntungan sementara) dengan kenikmatan di masa depan (baca: keuntungan dalam jangka panjang) sehingga dalam prakteknya seringkali perusahaan mengalami kerugian di satu massa untuk kemudian meraih keuntungan lebih dalam beberapa tahun berikutnya.

Lebih lanjut, nilai lebih yang menjadi fokus konsep ini tidak sebatas seberapa jauh produk-jasa yang ditawarkan dapat memenuhi kebutuhan konsumen, namun lebih pada seberapa besar kontribusi produk-jasa yang ditawarkan dapat menambah satu hari kehidupan sang konsumen. Anda dapat membayangkan respon positif yang akan diterima perusahaan jika mampu merealisasikan konsep tersebut.

Pilar kedua terkait budaya kerja di dalam perusahaan. Beroperasi dalam sebuah industri pada jangka panjang membutuhkan daya inovasi yang cukup tinggi. Tanpa adanya kehadiran produk-jasa yang baru niscaya output perusahaan akan mulai ditinggalkan pasar. Anda dapat merujuk pada beberapa perusahaan yang dulunya pernah mengalami masa kejayaan di pasar.

Dalam situasi persaingan dewasa ini, penciptaan inovasi dalam perusahaan bukan merupakan tanggung jawab bagian penelitian dan pengembangan semata. Manajemen harus mampu membawa inovasi sebagai output dari budaya kerja organisasi.

Konsep ini pulalah yang membawa banyak perusahaan kini mulai menjadikan institusinya sebagai organisasi pembelajaran bagi seluruh anggota. Dengan menjadikan spirit inovasi sebagai budaya kerja, niscaya ide-ide inovatif tersebut akan menghantarkan perusahaan untuk menciptakan produk-jasa yang mampu meningkatkan kualitas hidup konsumen dalam jangka panjang. Perlahan namun pasti mekanisme tersebut akan membentuk sebuah siklus yang berkontribusi positif dalam keberlangsungan bisnis perusahaan.

Selamat berefleksi, sukses senantiasa menyertai perusahaan anda!

*Tulisan dimuat di harian Kontan, 7 Desember 2011.

Aries Heru PAries Heru Prasetyo. Ketua Program Sarjana PPM School of Management
AHP@ppm-manajemen.ac.id

Leave a comment