Transportasi Indonesia: Risiko Kemacetan dan Polusi

Awal 2019, Presiden Jokowi menyebutkan kerugian akibat macet Ibu Kota mencapai Rp65 triliun per tahun, sedangkan perkiraan Gubernur Anies Baswedan mencapai Rp100 triliun per tahun. Tidak hanya kerugian material, tingkat polusi menurut standar Air Quality Index (AQI) mencapai level 188. Angka ini termasuk kategori tidak sehat (unhealthy). Alhasil, pada pertengahan 2019, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berencana mencanangkan program pembatasan usia kendaraan bermotor di Jakarta guna mengurangi tingkat polusi.

Isu kemacetan dan polusi dalam urban logistics (termasuk transportasi dalam kota), menurut Taniguchi (2014), diklasifikasikan ke dalam kriteria frekuensi kejadian (events) yang sering terjadi (everyday) dengan sumber kesulitan (source of difficulty) yang rumit kompleks.

Taniguchi mengklasifikasikan risiko urban logistics dengan kriteria events, mulai dari sering sampai jarang (rare) dan kriteria sumber kesulitan yang terdiri dari complexity, uncertainty, dan ambiguity.

Ada beberapa solusi yang ditawarkan untuk kejadian dengan frekuensi yang sering dan kompleks. Pertama, membuat model simulasi dan duplikasi karena sebenarnya rute dan jadwal kepadatan lalu lintas bisa diprediksi. Pola masyarakat yang berkendara dapat terlihat, khususnya terkait kapan dan berapa lama kendaraan melintas Sebut saja misalnya pada hari kerja, pukul berapa saja momen-momen kemacetan di sejumlah ruas jalan raya terjadi.

Simulasi lain adalah rutinitas harian pergerakan truk yang membawa barang kebutuhan sehari-hari dari luar kota ke pasar dan pusat perbelanjaan di sebuah kota. Pergerakan rute maupun waktu kendaraan dideteksi.

Solusi kedua, menerapkan risk governance dalam menghadapi situasi complexity, uncertainty, dan ambiguity, seperti yang diajukan oleh Kroger (2008). Konsep dari Kroger ini mencakup tahap pre-assessment, appraisal, characterization and evaluation, serta manajemen. Konsep yang terintegrasi ini ditujukan untuk memahami ketergantungan dari setiap stakeholder terkait urban logistics dan kondisi infrastruktur (jalan raya, kondisi lingkungan dan polusi) yang mempengaruhi. Tujuan akhirnya adalah mencapai kondisi urban logistics yang ideal, yaitu mendukung perpindahan manusia, barang, serta moda transportasi secara efektif, aman, dan ramah lingkungan.

Berikut adalah langkah-langkah risk governance. Pertama, pre-assessment, yaitu tahap merangkai risiko yang terjadi pada urban logistics, membuat persiapan sistem early warning, dan persiapan menghadapi risiko ketika muncul. Sebut saja misalnya risiko polusi dan macet dibuat early warning berupa alat pendeteksi polusi untuk tiap kendaraan dan platform yang menginformasikan potensi kemacetan.

Kedua, appraisal, yaitu menilai aspek teknis dan memahami penyebab dan akibat dari risiko yang muncul. Pada tahap ini, kita mengembangkan pengetahuan dan pemahaman untuk mengambil keputusan apakah sebuah risiko akan dikelola dan/atau diabaikan. Lakukan tahap identifikasi pada setiap risiko apakah harus diambil langkah preventing, mitigating, adapting, atau sharing the risk.

Ketiga, characterization and evaluation. Pada langkah ini, kita membuat pertimbangan dan penilaian terkait risiko dan perlunya penanganan risiko. Bandingkan hasil dari risk appraisal dengan kriteria spesifik, misalnya, untuk kemacetan polusi menggunakan kriteria kecepatan rata-rata kendaraan dan indeks kualitas udara. Persiapkan batas-batas maksimum kecepatan dan indeks kualitas serta bandingkan dengan kondisi pada kota-kota besar di negara lain.

Terakhir, manajemen, yakni tahap mendesain dan menerapkan tindakan dan antisipasi dari semua langkah preventing, mitigating, adapting, atau sharing the risk.

Bandingkan dari sisi ekonomi, sosial, dan budaya ketika menerapkan beberapa solusi yang sudah pernah dibahas para stakeholder transportasi. Sebut saja misalnya memindahkan pergerakan manusia di dalam kota menggunakan transportasi umum (apakah sudah didukung integrasi antarmoda dan keamanan kenyamanan manusia selama perjalanannya) atau memindahkan pergerakan barang dari truk menggunakan kereta (apakah infrastruktur rel dan perpindahan barang antar moda sudah mendukung).

Oleh: Ricky Virona Martono – Core Faculty  PPM Manajemen

*Tulisan ini dimuat di Majalah SINDO WEEKLY No. 30, Tahun VIII, 23-29 September 2019, hlm. 82

Memanfaatkan Kanal Cikarang Bekasi Laut

Pemerintah bakal memanfaatkan kanal Cikarang Bekasi Laut (CBL) untuk mengurangi beban jalan darat dari Pelabuhan Tanjung Priok ke kawasan industri Cikarang yang melalui jalur dalam kota Jakarta.

Konsep CBL telah menjadi wacana selama beberapa tahun dan dinilai mampu mengurangi beban jalan tol menuju Cibitung, Cikarang, dan Karawang, serta mengurangi polusi udara. Titik awal CBL berada sekitar 11,5 km ke arah Timur Laut Pelabuhan Tanjung Priok, yaitu sebuah delta yang berlanjut ke sebuah kanal alami, mengalir sepanjang 25 km sampai ke Cikarang.

Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi menjelaskan bahwa angkutan barang kendaraan dari kawasan industri Cikarang akan mengandalkan jalur darat dan air.
Continue reading