Membangun Optimisme di Tahun Kuda

Horse1-2014Tahun baru Imlek kali ini dirasa beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Setelah sempat dilanda bencana banjir, kondisi infrastruktur transportasi darat yang rusak akibat debit air yang kencang serta beberapa kebijakan surprise dari pemerintah, kini segenap pemain lokal harus bersiap menyongsong era ASEAN Economic Cooperative yang akan berjalan di awal tahun depan.

Alhasil, banyak pula opini negatif yang bermunculan. Satu diantaranya adalah yang mengaitkan pemilu dengan kondisi ekonomi di dalam negeri. Tanpa berusaha menghakimi opini tersebut, artikel ini berupaya untuk melihat semua realitas tersebut dari sisi yang berbeda.

Demikian pula halnya dengan sifat dasar kuda yang dikenal temperamen namun bila dikelola secara efektif akan mampu berlari kencang. Itulah semangat yang perlu ditemukan di tahun ini.
Continue reading

Organizational Inertia

kodok-rebus“BUMN perlu pemimpin yang bersemangat!” pungkas Dahlan Iskan (DI). DI senantiasa menggunakan dua kriteria ketika memilih  Direktur Utama di BUMN, yaitu Integritas yang dimaknai dengan kata kejujuran, dan Antusiasme yang dimaknai dengan semangat.

Dalam kesempatan launching buku “Great Spirit, Grand Strategy” yang digelar di PPM Manajemen, 19 Desember 2013 yang lalu, Arief Yahya (AY), CEO PT Telkom Persero, Tbk.,  menambahkan kata Totalitas sebagai amunisi tambahan untuk menjadi pemimpin yang sukses.

Dalam pengamatan AY  terdapat tiga masalah utama yang banyak menghinggapi pimpinan BUMN, masalah tersebut adalah  Solid, Speed, dan Smart (3S). Lebih jauh AY menjelaskan, “Filosofi hukum rimba mengatakan siapa yang cepat akan memakan yang lambat, namun belum tentu yang besar dapat memakan yang lebih kecil.”
Continue reading

Pelajaran Berharga Renungan Seorang Wrekudara

wrekudaraTak terasa, kini, kita telah berada di hari pamungkas tahun 2013. Dalam hitungan detik tahun 2014 akan tiba. Tahun di mana sejumlah agenda mulai dari ekonomi hingga politik akan dijalankan.

Satu hal yang membuatnya begitu spesial adalah bahwa kedua agenda tersebut sama-sama berujung pada kondisi sosial ekonomi rakyat juga nasib bangsa ini tentunya. Di lain sisi persaingan perdagangan bebas telah mengancam sendi-sendi ekonomi nasional. Dengan begitu, hasil yang kurang tepat akan berujung pada pelemahan daya saing domestik di pasar intemasional.

Sebagai sebuah catatan akhit tahun, artikel ini mengajak Anda untuk merenung dalam menemukan kembali inti misi hidup, baik secara pribadi maupun dalam kapasitas kita sebagai pemimpin.
Continue reading

Berorientasi ke Konsumen

Anda pasti sudah sangat familier dengan konsep bahwa bisnis harus senantiasa ramah ke pasar. Namun seiring dengan berjalannya waktu, prinsip ini tidak lagi dipandang positif. Terminologi pasar yang juga dibangun baik oleh kekuatan persaingan, maupun kolaborasi di antara segenap pemain, ternyata, mengarahkan kita pada kesimpulan betapa besarnya pengaruh opini yang dibangun pada harga jual produk.

Di situlah ketidakwajaran harga produk ditemukan. Ujung-ujungnya konsumenjugalah yang dirugikan.

Sebagai gantinya, sejak 2010 muncul konsep bisnis yang berorientasi ke konsumen. Konsep itu mulai dari langkah aktif mengikutsertakan konsumen di setiap aktivitas merumuskan karakter kinerja produk, hingga menempatkan calon pembeli sebagai mitra strategis perusahaan.

Cara pandang yang sama juga digunakan oleh Asfialdi. Mahasiswa program sarjana Manajemen Bisnis di PPM School of Management yang juga aktif berbisnis properti itu berupaya untuk mendobrak paradigma lama yang bernada negatif. Melalui mata kuliah inkubator bisnis, Aldi, demikian sapaannya, mencoba keberuntungan dengan mengembangkan satu kompleks perumahan di kawasan Karawang, bernama Kondang Gemilang Residence.

Di bawah naungan bendera CV Aldhitama Gemilang, Aldi mulai menapakkan langkah pertamanya di bisnis properti tanah air. “Saya sadar, Pak, bahwa saat ini harga rumah sudah sangat tinggi. Padahal, rumah merupakan kebutuhan pokok. Karena itu, saya berkomitmen untuk belajar membantu mereka (konsumen) memenuhi kebutuhan papan sesuai daya beli,” ujar dia.

Cara pandang ini bukannya tidak berisiko, mengingat paradigma yang sudah terbangun saat ini adalah semakin mahal harga jual rumah, maka semakin tinggi kualitas yang akan diperoleh. Menjual rumah dengan harga yang relatif “murah” bisa-bisa menimbulkan tanda tanya besar.

Alih-alih ingin membantu konsumen, strategi ini berpotensi melemahkan daya saing. “Awalnya, saya berpikir demikian, Pak. Namun dengan tekad bahwa saya harus fokus kepada kewajaran harga, maka saya yakin konsumen akan percaya,” tutur dia. Untuk menerapkan prinsip tersebut dengan tepat, Aldi melakukan beberapa upaya.

Pertama, mengadaptasi misi perusahaannya dengan tuntutan orientasi konsumen. Baginya, misi bukanlah sekedar tulisan pemanis di dinding kantor, namun merupakan napas bagi kegiatan operasional usaha sehari-hari. Bahkan, dari misi itu pula beberapa strategi bisnis muncul.

Satu di antara strategi itu adalah komitmen perusahaan ke kepuasan konsumen. Pada langkah kedua, dilakukan pendefinisian kebutuhan konsumen serta spesifikasi kepuasannya. “Saya berpikir bahwa konsumen akan puas jika kebutuhannya terpenuhi, Pak. Dengan cara ini, kami berupaya mengidentifikasi kebutuhan dasar konsumen dari sebuah rumah,” tutur dia. Rumah tidak lagi dilihat sebagai tempat berlindung, namun lebih ke sarana di mana sebuah keluarga dapat tumbuh dan berkembang. Dengan konsep itu, desain dan spesifikasi bangunan rumah akan ditentukan.

Rumah harus dibangun dengan kokoh agar tidak mencelakakan di kemudian hari. “Dari situ, kami menentukan spesifikasi tentang bahan bangunan yang digunakan. Hal yang sama juga kami lakukan saat mendesain. Meski kini desain minimalis menjadi trend, kami tidak sekadar mengamininya. Studi dan observasi terhadap desain minimalis dalam kaitannya dengan wahana perkembangan sebuah keluarga kami lakukan. Proses inilah yang akhirnya menciptakan lay out serta ukuran untuk setiap ruangan,” jelas Aldi.

Akses kredit

Setelah tahap produksi, kegiatan selanjutnya adalah pemasaran. Aldi tidak mengikuti langkah sejumlah pengembang yang langsung menggelar kegiatan pemasaran, kendati baru mematok tanah. “Sebagai pendatang baru, saya patuh pada aturan Pak. Jadi proses pemasaran baru kami lakukan setelah rumah jadi. Itulah mengapa kami membangun dua rumah contoh. Konsumen bisa membeli kedua rumah itu, setelah melihat kualitas konstruksi kami,” tutur dia, sambil
menunjukkan foto-foto dari kedua rumah contoh itu.

Meski sederhana, namun upaya itu sarat dengan nilai-nilai kejujuran. Setidaknya, dengan cara tersebut konsumen benar-benar memahami kualitas yang akan ia peroleh. Berbeda halnya ketika konsumen membeli rumah hanya dengan melihat brosur. Di situasi terakhir itu, sama saja konsumen dengan membeli janji. Ketika janji ditepati, kepuasan akan teraih.

Namun sebaliknya, jika realitas tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan, prinsip membantu konsumen memiliki rumah sesuai kebutuhan dan daya belinya tidak akan tercapai.

Fase berikut menjadi pengembang yang berorientasi ke konsumen menyangkut segi pendanaan. “Tingginya harga rumah seringkali membuat konsumen terpaksa mengajukan kredit perbankan pak melalui kredit pemilikan rumah (KPR). “Di sini kami juga membantu mencarikan akses kredit bagi mereka. Kriteria kemudahan akses, ringan atau tidaknya bunga yang diminta, serta kemampuan konsumen dalam memenuhi kewajibannya merupakan faktor-faktor yang diutamakan,” tutur Aldi.

Meski sebenarnya pola ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kas pengembang, namun membantu konsumen menemukan pola pendanaan yang tepat layak diacungi jempol. “Kami juga belajar melihat creditworthiness dari calon pembeli. Prinsip yang kami pelajari di Jalan Menteng Raya 9-19 Jakarta, mengarahkan kami untuk menjadi rekanan perbankan. Semakin akurat informasi yang berhasil digali dari calon pembeli, maka semakin erat hubungan antara pengembang dengan perbankan,” ujar dia.

Dengan melihat potensi pengembangan wilayah Karawang sebagai pusat industri, maka peluang Kondang Gemilang untuk tumbuh menjadi kompleks primadona sangat terbuka. “Makin baik layanan kami ke konsumen, saya yakin semakin berkah pula bisnis ini Pak,” tutur Aldi, sembari menutup diskusi. Ingin tahu kisah Pebisnis Pengkolan Menteng selanjutnya? Ikuti terus Diary PPM.

Oleh: Aries Heru Prasetyo

*Dimuat di kontan.co.id,

Antisipasi Risiko Alam

Banjir yang melanda sejumlah daerah di Nusantara seminggu ini telah berhasil memorakporandakan perekonomian setempat. Pusat-pusat perdagangan hingga toko kelontong pun terpaksa tutup karena banjir. Padahal, di sisi lain, permintaan akan produk-produk kebutuhan sehari-hari tetap ada.

Bak aliran air yang mencari tempat rendah, pola permintaan pun akan terus mencari penawaran di mana pun berada. Satu hal yang cukup mengkhawatirkan adalah ketika jumlah penawaran sangat terbatas, maka kenaikan harga-harga produk akan terjadi. Di situlah ancaman inflasi mulai menghantui.

Imbas bencana banjir kali ini tak berhenti di situ saja. Kepanikan dan chaos yang terjadi saat bencana datang telah membuat setiap pribadi cenderung ‘mengamankan’ keselamatan diri dan keluarganya dibanding harta benda.
Continue reading

Harmonisasi Seni dan Dimensi Fisik

m.sana_.corpore.sano_Anda pasti sangat akrab dengan pepatah “Dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat.” Harmonisasi keduanya memang mutlak dibutuhkan dalam menjalankan bisnis.

Ketika fisik sedang tidak mendukung, pebisnis akan menemui sejumlah hambatan, mulai dari kesulitan menciptakan ide-ide inovasi hingga memberi arahan di lapangan. Alhasil ketika kondisi tersebut tak kunjung berubah, hampir dapat dipastikan ada pengaruh negatif ke profit perusahaan.

Minggu lalu, kelompok Pebisnis Pengkolan Menteng (PPM) mengalami kedukaan yang mendalam. Seorang mahasiswa program Sarjana Manajemen Bisnis Reguler 8 Raifaza Alfaridzi berpulang. Siswa yang dikenal berkat kepiawaiannya memainkan piano ini meninggal dalam usia yang sangat belia.
Continue reading

Siasat Jitu Hadapi Ekonomi Biaya Tinggi

JIKA ada pertanyaan tentang apa saja yang mengancam perekonomian domestik di tahun kuda ini, jawaban yang banyak terdengar antara lain adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Selain itu, ada yang menyebut infl asi tinggi akibat kenaikan harga bahan bakar non-subsidi seperti harga elpiji, kenaikan bunga acuan Bank Indonesia yang berefek sundulan ke bunga berbagai kredit, termasuk kredit usaha.

Ekonomi domestik juga berada di bawah bayang-bayang deindustrialisasi, yang biasanya berujung ke pemutusan hubungan kerja. Bila tidak segera diantisipasi, berbagai faktor tersebut mampu mengarahkan perusahaan ke ekonomi biaya tinggi. Saat kenaikan biaya produksi tidak lagi dapat dielakkan, maka pilihan yang dimiliki perusahaan tinggal dua: membebankan biaya itu ke konsumen melalui kenaikan harga atau memikul sendiri kenaikan itu, dengan konsekuensi perusahaan terancam menderita penurunan laba.
Sungguh, situasi yang menyerupai buah simalakama, bukan? Di pengujung tahun lalu, Yehuda Ardhito, seorang anggota Pebisnis Pengkolan Menteng (PPM) yang juga pembudidaya ayam kampung, menjelaskan bahwa satu faktor yang membuat harga ayam melambung di atas Rp 40.000 per ekor adalah harga pakan yang naik hingga lebih dari 20%. “Awal kenaikan harga terjadi menjelang Lebaran. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, permintaan dipastikan akan melonjak drastis. Tinggal, bagaimana produsen mempertahankan jumlah pasokan,” tutur dia.

Jika kita belajar dari pengalaman di masa itu, permintaan terhadap ayam memang meningkat seiring dengan pergeseran konsumen dari daging sapi yang harganya ketika itu terbang hingga Rp. 100.000 per kilogram (kg). “Saat harga jual naik namun tetap terserap pasar, akan tercipta harga baru,” tutur Yehuda. Di situ terjadi ekuilibrium (keseimbangan pasar) harga. Itulah titik pertemuan antara penawaran dengan permintaan.

Meski terlihat aneh, satu hal yang membuatnya wajar adalah adanya tuntutan konsumen terhadap kebutuhan tersebut, hingga kenaikan harga dipandang sebagai hal yang wajar. Selanjutnya, opini wajar ini pula yang menciptakan zona nyaman pada harga baru tersebut, alias tidak akan pernah turun.

Anda mungkin akan bertanya bagaimana bisa konsumen memandang hal itu sebagai sebuah kewajaran? Keterampilan hedging Jawabannya cukup bervariasi. Pertama, kini muncul banyak konsumen rasional, yang memahami benar posisinya sebagai price taker. Sehingga saat dihadapkan pada ekonomi biaya tinggi, secara otomatis, ia akan berupaya meningkatkan pendapatannya. Memang secara matematis, bisa jadi ia tidak mengalami peningkatan kekayaan. Namun, dari kacamata ekonomi, kebutuhan hidupnya terpenuhi hingga ia masih layak disebut sejahtera.

Kedua, realitas di lapangan menunjukkan bahwa dewasa ini dukungan teknologi informasi telah membawa konsumen ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Baik dalam kategori rumah tangga maupun industri, konsumen telah mampu berinovasi untuk senantiasa menciptakan efisiensi.

Mereka tidak lagi memandang ekonomi biaya tinggi sebagai suatu kendala, melainkan melihatnya sebagai peluang untuk berinovasi. Tengoklah kini bagaimana kalangan rumahtangga domestik menyiapkan anggaran belanja yang sangat terencana. Mereka tidak lagi berbelanja secara spontan karena pola ini akan mengarahkannya ke pengeluaran ekstra.

“Browsing dulu sebelum berbelanja” kini menjadi moto di kalangan mereka yang berusia produktif. Setelah puas membanding-bandingkan produk antar merek, baru proses konsumsi dilakukan. Lewat cara ini, jutaan rumahtangga mampu meningkatkan kesejahteraannya di kala perekonomian domestik sedang kurang mendukung.

Di sisi perusahaan, penggunaan flexible budget juga semakin marak. Perusahaan-perusahaan di Tanah Air tidak lagi menggunakan model yang konservatif saat melakukan penganggaran. Mereka telah memahami nilai relativitas dari setiap asumsi yang digunakan. Penggunaan sistem ini secara tidak langsung telah mendekatkan manajemen, pada mengendalikan anggaran yang lebih efektif. Jadi, perusahaan akan mampu menjalankan prinsip-prinsip kepatuhan, seperti corporate governance dengan lebih baik.

Kenyataan lain yang tercipta dari perluasan pengetahuan konsumen adalah praktik hedging. Melemahnya nilai tukar mata uang kita hingga menembus Rp 12.000 per US$ merupakan pelajaran terbaik. Meski sempat memicu shock, kalangan industri dan rumahtangga kini mahir memanfaatkan mekanisme lindung nilai (hedging).

Prinsip “tuntutan membayar dalam dollar harus dibarengi dengan pemasukan dalam valuta yang sama”, setidaknya, menjadi malaikat penyelamat bagi perekonomian domestik. Besar harapan ke depan akan bangkitnya pasar bagi produk-produk instrumen untuk keperluan hedging di Tanah Air.

Tak cuma itu, maraknya wacana hedging ternyata berhasil membuka mata para pebisnis kecil dan menengah di tanah air tentang luasnya peluang ekspor pasca perdagangan bebas. Melalui pemanfaatan media sosial dan internet, kini pebisnis muda Indonesia khususnya di industri kreatif mulai merambah negara-negara tetangga.

Saat pasar lokal lesu, tetap ada pasar di luar negeri yang bersemangat untuk berbelanja. Di situlah peluang tercipta. Kendati tidak mudah, namun kemampuan untuk menciptakan produk yang memiliki kualitas ekspor merupakan modal awal yang kuat untuk menjaring dollar masuk di masa depan.

Alhasil, saat industri lain lesu akibat hantaman kurs, industri kreatif yang mengusung nilai unik sebagai sebuah faktor pembeda, mampu menikmati keuntungan dari melemahnya Rupiah. “Apalagi jika semua faktor produksinya terbebas dari produk impor, maka penerimaan dollar yang diikuti dengan pengeluaran dalam rupiah akan mengarahkan bisnis pada keuntungan besar,” demikian kesimpulan Yehuda.

Di situasi semacam itu, pebisnis akan terbebas dari jebakan ekonomi biaya tinggi. Tertarik untuk mengetahui kisah selanjutnya? Ikuti terus artikel Diary PPM.

Oleh: Aries Heru Prasetyo

*Dimuat di kontan.co.id,

Konsistensi dalam Bisnis

consistencyBisnis tidak akan dapat dilepaskan dari konsistensi, suatu cara pandang yang secara psikologis mampu menciptakan komitmen. Opini inilah yang tercetus dalam pertemuan Pebisnis Pengkolan Menteng (PPM), minggu lalu.

Firman Agus, seorang mahasiswa program Sarjana Manajemen Bisnis PPM School of Management, memetik pelajaran yang sangat berharga tentang konsistensi dalam berusaha, pekan lalu. “Saat konsistensi itu mulai luntur bisa jadi rupiah melayang,” ujar Agus, nama panggilannya.

Ia merupakan seorang contoh mahasiswa yang menjalani fungsi ganda: sebagai pelajar sekaligus pebisnis. Berbekal pengetahuan manajemen yang ia peroleh dari bangku kuliah, Agus memberanikan diri membantu usaha orang tuanya di bidang kuliner.
Continue reading

Mewaspadai Sinyal Bubble

investasi-properti Bagi sebagian orang, menilik harga wajar sektor properti di sejumlah wilayah tanah air kini tak semudah yang dibayangkan. Opini publik akan masa depan suatu wilayah turut menentukan harga pasar.

Alhasil, konsumen sektor ini terbagi dalam dua kelompok: kelas ‘kakap’ dan kelas ‘pendatang baru.’ Meski stigma krisis masih mewarnai perekonomian sejak pertengahan 2013, namun jumlah kedua kelompok tersebut meningkat drastis.

Kelompok investor besar cenderung memegang kendali sebagai ‘pembabat alas.’ Wilayah-wilayah yang dulunya tak terlalu ‘dilirik’ kini berubah menjadi primadona setelah kelompok pertama membuka akses infrastruktur.
Continue reading

Saat Ekonomi Ditentukan oleh Opini

Opini dan ekonomi kini merupakan dua hal yang sudah tak lagi mampu dipisahkan. Hubungan timbal balik yang bersifat positif di antara keduanya telah membawa pasar pada pemahaman bahwa ketika spirit optimis yang terbangun maka perekonomian akan bertumbuh secara signifikan, demikian pula sebaliknya.

Beberapa studi bahkan menyimpulkan bahwa opini jualah yang menentukan tinggi rendahnya tingkat ketidakpastian berbisnis di suatu negara. Opini negatif (bernada pesimis) secara langsung akan meningkatkan risiko bisnis. Sedangkan opini positif dapat menurunkan risiko yang ada. Realitas ini mau tak mau telah memperhadapkan kita pada upaya untuk membentuk opini positif demi kehidupan yang lebih baik.

Meski terlihat cukup sederhana, namun membentuk opini positif dewasa ini jauh lebih kompleks dibanding era orde lama dan orde baru. Derasnya arus masuk informasi global yang didukung oleh percepatan perputaran arus informasi dalam negeri telah membawa masyarakat (sebagai pelaku ekonomi) pada intepretasi yang berbeda.
Continue reading