Tetap Berdaya Saing Saat Rupiah Lemah

Selama sepekan terakhir Rupiah diperdagangkan di level Rp. 11.200. Di beberapa tempat penukaran valuta asing bahkan Rupiah sempat diperjual belikan di level Rp. 12.000. Alhasil peluang spekulasi pun kini mulai merebak. Para pemilik Dollar kini mulai menukarkan sebagian simpanannya untuk dijadikan Rupiah.

Melalui mekanisme tersebut meski sekilas mereka hanya meraup keuntungan sesaat namun langkah ini bisa dipastikan turut berkontribusi dalam menciptakan penguatan Rupiah di masa depan. Berkaca pada realitas tersebut, saya ingin mengajak anda untuk mengidentifikasi peluang apa saja yang dapat dimanfaatkan ketika Rupiah melemah. Satu prinsip yang diusung adalah kesejahteraan bagi semua pihak.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia begitu kaya akan sumber daya alam yang dapat diperbarui. Realitas ini pulalah yang sering membuat ‘iri’ bangsa-bangsa lain. Dengan ketersediaan kekayaan tersebut seharusnya aktivitas ekspor bahan-bahan alam dari bumi pertiwi mengalami peningkatan. Terlebih ketika Rupiah melemah, importir asing akan melihat harga produk-produk lokal menjadi lebih murah dari sebelumnya. Di sinilah peluang pebisnis lokal meraup Dolar tercipta.

Berbicara tentang orientasi ekspor pebisnis lokal memang bukanlah hal yang sederhana. Kealpaan produk-produk lokal dalam memenuhi standar internasional seringkali menciptakan ‘barrier’ sehingga tak mampu menembus pasar suatu negara.

Satu contoh sederhana yang dapat dijadikan rujukan terkait segi kualitas produk, sebut saja buah duku. Jika dilihat dari kapasitas produksi, duku Indonesia tak kalah dengan Malaysia, Thailand dan Singapura. Namun kualitas duku lokal masih di bawah duku yang berasal dari ketiga negara tersebut.

Duku lokal usianya rata-rata dua hari sudah mulai berbintik sehingga tak layak ‘display’. Padahal aktivitas logistik internasional rata-rata memerlukan waktu empat hari. Berbeda halnya dengan duku besutan ketiga negara tetangga tersebut. Melalui rekayasa teknologi di bidang pangan, kualitas duku yang dihasilkan terlihat lebih ‘layak jual’ ketimbang produksi Indonesia. Hal senada juga ditemui di produk-produk pangan lokal lainnya.

Dari paparan tersebut, upaya menggarap peluang ekspor membutuhkan perbaikan di beberapa hal. Pertama, sudah saatnya bagi pertanian lokal untuk memanfaatkan rekayasa teknologi ramah lingkungan di bidang pangan.

Kerja sama antara pemerintah, petani dan dunia pendidikan tinggi harus difokuskan pada sisi praktis, bagaimana hasil penelitian akademis berguna dalam menciptakan daya saing produk lokal. Di satu sisi pendidikan tinggi mengambil peran melalui kegiatan penelitian, sedangkan di lain sisi pemerintah hendaknya mengalokasikan dana guna membantu kegiatan penelitian tersebut. Tak berhenti di situ, petani juga harus diyakinkan agar lebih percaya diri melakukan pengolahan lahan dengan cara-cara modern sebagai penyempurnaan cara-cara tradisional.

Bila langkah pertama tersebut ada di bidang produksi, maka langkah selanjutnya ada di bidang pemasaran. Pengenalan merek lokal di pasar internasional perlu dilakukan dengan lebih serius, mengingat sisi pemasaran pemain lokal masih belum dikelola secara optimal.

Kerja sama plasma antara perusahaan besar dengan UMKM hendaknya diarahkan pada upaya perluasan jejaring internasional. Salah satu langkah yang dapat menjadi alternatif adalah dengan turut menjual produk UMKM lokal sepaket dengan produk ekspor. Upaya bundling ini dinilai efektif dalam memperkenalkan merek lokal di pasar global.

Langkah berikutnya yang tak kalah penting adalah di sisi pengelolaan keuangan. Ketika arus kas masuk berasal dari Dolar Amerika, maka secara otomatis ketika dikonversikan ke Rupiah nilainya akan menjadi besar. Namun itu bukan berarti keuntungan dapat dimanfaatkan secara penuh.

Alokasi untuk modal kerja amat penting agar pemain dapat melakukan upaya perluasan usaha. Dalam kondisi seperti ini (ketika suku bunga kredit turut terkerek naik), menggunakan modal sendiri hasil penyisihan keuntungan akan lebih efisien ketimbang pinjaman.

Bila hal ini berhasil dilakukan, maka tak kan banyak uang perusahaan yang keluar untuk membayar biaya modal. Alhasil tak hanya efisiensi, daya saingpun dapat diperoleh. Dengan kemampuan beroperasi pada biaya rendah, niscaya perusahaan lokal akan bertumbuh menjadi salah satu pemain global yang diperhitungkan oleh pesaingnya.

*Tulisan dimuat di Harian Kontan, 10 September 2013. h.15

Aries Heru PAries Heru Prasetyo. Ketua Program Sarjana PPM School of Management
AHP@ppm-manajemen.ac.id

Leave a comment